Promosi Doktor

Disertasi berjudul;Islam dalam Ritual Nelayan Mandar (Studi di Pambusuang Polman Sulawesi Barat)” dalam ujian doktor program parcasarjana di Convention Hall, kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ruang Kerja

Dr. Arifuddin Ismail, Sedang memeriksa laporan kegiatan

Keluarga Besar

Foto Keluarga Besar Balai Litbang Agama Semarang

Ucapan Selamat

Selamat dan Sukses atas di raihnya gelar doktor dari Balai Litbang Agama Semarang, Balai Litbang Agama Makasar, Kelurga Dr. Abdul Kadir Massoweang, M.Ag dan Keluarga Juhroh, S.Sos. M.AP

Pengurus Koperasi

Pelantikan Pengurus Koperasi Bangun Sejahtera Balai Litbang Agama Semarang

Minggu, 10 Agustus 2008

NILAI-NILAI ISLAM DALAM PERKAWINAN Studi Kasus Pada Masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kab. Majene

Oleh: Drs H. Arifuddin Ismail, M.Pd.


A. PENDAHULUAN


1. Latar Belakang

Setiap agama dan budaya menggariskan cara-cara tertentu bagi hubungan laki-laki dan perempuan berupa hubungan perkawinan. Siapapun haruslah memenuhi cara-cara tersebut. Kalau tidak, mereka dianggap menyeleweng. Oleh karena itu hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat apa pun tidak hanya kepada dorongan-dorongan seksual saja, tetapi juga tunduk pada norma-norma agama dan budaya tertentu.

Perkawinan adalah naluri hidup bagi manusia, hal mana merupakan suatu keharusan bahkan merupakan kewajiban bagi setiap orang yang sanggup untuk melaksanakannya. Perkawinan adalah akad atau perikatan yang menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta rasa kasih sayang dengan cara yang diridhahi oleh Allah swt.

Bila dianalisa secara mendalam, maka perkawinan adalah merupakan sesuatu yang sangat penting, dimana dengan perkawinan seseorang dapat membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, bahagia dan sejahtera. Oleh karena itu perkawinan sangat dianjurkan dalam agama Islam, bagi mereka yang mempunyai kesanggupan. Perkawinan adalah perintah dari Allah dan Rasulullah saw. Allah swt berfirman dalam surah an Nuur ayat 32:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(32)
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Islam menganjurkan orang untuk segera berkeluarga, karena dengan berkeluarga mereka bisa menundukkan pancaindera seperti menundukkan mata, lidah, hidung, telinga, bahkan dengan berkeluarga dapat menghindarkan dari perbuatan zina. Wajarlah bila Rasulullah saw menyeru kepada para pemuda dalam sabdanya:
عن عبدالله ابن مسعود رضي الله عنه قال, قال رسول الله ص.م.: يا معشر السباب من استطاع منكم البائة فليتزوج فانه أغض للبصر وأحسن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصيام فانه له وجاء.

Artinya: Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. berkara, Rasulullah saw bersabda: Hai para pemuda! Barangsiapa yang mampu beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar untuk menundukkan mata dan tangguh menjaga alat pital. Barangsiapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu alat penahan nafsu birahi.

Perkawinan adalah sumbu tempat berputar seluruh hidup kemasyarakatan. Tidak ada satu lembaga pun di dalam masyarakat yang memiliki aturan yang begitu ketat selain perkawinan (Fischer, 1980). Adat dan agama ---dalam hal ini syariat Islam--- bertaut sedemikian rupa di dalam sistem perkawinan sehingga terkadang sulit dibedakan unsur-unsur keduanya. Bahkan ketika simbol-simbol status justru cenderung dikukuhkan kembali lewat upacara perkawinan. Pertautan antara agama dan adat itulah yang kemudian membuat sistem perkawinan di Indonesia amat beragam.

Sistem perkawinan sebagai salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal bagi umat manusia di dunia ternyata menjadi obyek studi yang menarik untuk dikaji. Sistem perkawinan adat Mandar di Sendana Kabupaten Majene yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah suatu unsur kebudayaan yang sangat menarik untuk diketahui. Sistem perkawinan ini juga biasa disebut masaalana nikka. Ia adalah merupakan ajaran ada’ pura onro pada saat Islam masuk di Mandar berasimilasi sehingga terwujudlah sistem perkawinan adat Mandar yang dilaksanakan sampai sekarang ini.

Kecamatan Sendana Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat yang dihuni oleh suku bangsa Mandar yang telah bersentuhan dengan Islam sejak agama ini masuk di Sulawesi sejak awal abad ke-17. Persentuhan dalam bentuk akulturasi antara Islam dan adat lokal tersebut telah menimbulkan corak konfigurasi yang bervariasi terutama terjadi dalam sistem perkawinan.

Selain itu, pesan dan misi sebuah perkawinan bagi masyarakat Mandar tersebut dalam ungkapan menuju pada terwujudnya keluarga bahagia, yang mempunyai pemaknaan tersendiri bagi mereka walaupun dalam Islam keluarga bahagia tersebut diungkap dalam kalimat keluarga maslahat atau keluarga sakinah.

Untuk memenuhi keterkaitan ketiga konsep tersebut ---sistem perkawinan---, perwujudan syariat Islam di dalam sistem perkawinan tersebut, dan terbentuknya keluarga sakinah; menurut persfektif masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene, menelitian ini menjadi penting dilakukan. Selain itu memotret realitas sosial dan budaya melalui sistem perkawinan, penelitian ini juga penting bagi pengembangan program Pembinaan Keluarga Sakinah yang dicanangkan pemerintah, melalui Departemen Agama.

2. Rumusan Masalah

Fokus penelitian ini adalah bagaimana sistem perkawinan di berbagai masyarakat dan budaya di Kabupaten Majene mengambil bentuk setelah dipengaruhi oleh syariat Islam dan bagaimana sistem perkawinan tersebut berfungsi untuk menciptakan keluarga sakinah. Sedangkan permasalahan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini, adalah:
· Bagaimana sistem perkawinan yang berlaku pada masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene.
· Bagaimana nilai-nilai Islam dalam sistem perkawinan masyarakat Mandar khususnya di Kecamatan Sendana
· Bagaimana sosok keluarga yang dicita-citakan oleh masyarakat tersebut melalui sistem perkawinan.

3. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan melakukan deskripsi tentang sistem perkawinan, perwujudan syariat Islam di dalam sistem perkawinan dan cita-cita keluarga sakinah melalui sstem perkawinan yang berlaku bagi suku bangsa Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Secara khusus penelitian ini bertujuan:
· Melakukan deskripsi tentang sistem perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene.
· Mendeskripsikan karakteristik keluarga sakinah salam persfektif kultural masyarakat lokal.

b. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kajian sosial mengenai institusi keluarga dan agama. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan apresiasi bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam pengembangan dan pembinaan keluarga sakinah. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi kepentingan ilmiah dan praktis lainnya dari berbagai kalangan yang berkepentingan. Selain itu penelitian ini juga dapat menjadi langkah awal bagi penelitian serupa di daerah-daerah lain di Indonesia.

D. METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kasus pada suku Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Sebagai penelitian kasus penelitian dilakukan dengan mementingkan kedalaman dan pemaknaan ketimbang keluasan.

2. Sampel dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene, mewakili etnis Mandar. Pemilihan sampel dilakukan secara purposif dengan mempertimbangkan keterwakilan etnis, latar belakang sejarah, dan faktor sosio-kultural.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Untuk memudahkan pelaksanaan wawancara, sebelumnya disiapkan pedoman wawancara (wawancara terstruktur). Sedangkan pelaksanaan observasi disesuaikan dengan kondisi lapangan untuk menentukan jenis observasi yang akan digunakan.

4. Metode Analisis Data

Data yang tersedia akan dianalisis dengan menggunakan analisis mengalir mulai dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan langkah awal dalam analisis data dengan kegiatan seleksi dan penyaringan data yang relevan (proses eksklusi-inklusi), melakukan sistematisasi, dan pengkodean. Sedangkan penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi dan jika perlu, dalam bentuk tabel atau grafik. Sementara penarik kesimpulan dilakukan dalam bentuk penemuan pola-pola dominan terhadap informasi yang ada. Ketiga komponen berlangsung dalam waktu yang sama.


E. KAJIAN PUSTAKA


Salah satu hal mendasar dan sangat perlu dalam kehidupan umat manusia adalah perkawinan, karena secara fitrah kedua jenis manusia ini, laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup untuk saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Massijaya (1985) mengemukakan bahwa perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan dan laki-laki, calon mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak dan saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Jadi dengan demikian sebuah perkawinan merupakan sebuah sistem yang mempunyai jaringan luas dipandang dari sebuah kebudayaan. Koentjaraningrat (1977) mengemukakan bahwa perkawinan merupakan pengantar kelakuan manusia yang bukan hanya bersangkut paut dengan kehidupan sex, tetapi juga perkawinan mempunyai fungsi lain, yakni mengatur ketentuan akan hak dan kewajiban serta perlindungan dari hasil perkawinan yaitu anak-anak, di samping itu perkawinan juga memenuhi kebutuhan akan harta, gengsi sosial, dan memelihara hubungan kekerabatan dalam masyarakat.

Sebagai masyarakat yang beragama, maka hubungan manusia laki-laki dan perempuan lewat sebuah perkawinan harus pula didasarkan pengabdian kepada Tuhan dan juga kebaktian kepada umat manusia untuk melangsungkan kehidupan jiwanya. Sebagian mufassir seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah (1957) mengatakan bahwa perkawinan menjadi sunnah rasul karena ia mempunyai makna yang bermuatan sosial kemasyarakatan, individu, dan agama.

Oleh karena itu perkawinan tentunya diharapkan menjadi pembentuk sebuah keluarga yang tenteram, damai, kasih mengasihi, dan cinta mencintai seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an sebagai rumah tangga yang diwarnai dengan mawaddah warahmah. Letter (1995) memberikan pengertian tentang mawaddah sebagai hal-hal yang membangkitkan kemauan, menimbulkan kehendak untuk memadu kasih sayang, mengundang untuk bercumbu rayu, akhirnya memadu hati dan jiwa. Sedangkan Quraisy Syihab (1996) menerjemahkan kata mawaddah sebagai kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk, dia adalah cinta plus seorang suami atau istri yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi berfikir untuk memutuskan hubungan seperti yang terjadi pada orang bercinta, ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunyapun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir batin (yang mungkin datang dari pasangannya).

Sedangkan rahmah berarti rasa saling menyantuni antara suami istri, dijalin oleh kasih sayang yang bertolak bukan lagi dari kemontokan jasmani dan cinta birahi melulu, melainkan oleh ikatan bathin dan tanggung jawab, belaian kasih, dan ikrar, kata dahulu ditepati, kata kemudian, kata dicari (Letter, 1995).

Dalam ajaran agama protestan menilai bahwa tujuan Tuhan mengadakan perkawinan itu supaya saling kenal mengenal, saling Bantu membantu, saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan yang lainnya, Tuhan menghendaki agar kedua insan menjadi satu dalam kepatuhan, atau dalam menghayati kemanusiaan mereka, satu dalam memikul tanggung jawab perkawinan, dan satu dalam menunjukkan perhatian kepada pekerjaan masing-masing, serta satu dalam pengabdian kepada Tuhan dengan segala rencananya (J. Verkuyl, 1984). Oleh karena itu pada tempatnyalah bila perkawinan itu dilaksanakan dengan cara berkesan, menarik dan dijadikan sebagai landasan untuk membawa manusia menjadi hidup terhormat sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Tuhan yang lain.

Sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa maka hubungan manusia laki-laki dan perempuan harus pula didasarkan kepada pengabdian kepada Tuhan dan kebaktian kepada manusia untuk melangsungkan kehidupan jiwanya.

Gambaran-gambaran tersebut di atas telah mewarnai dalam proses sebuah perkawinan yang baik di berbagai tempat, sehingga telah menjadi sebuah aturan yang mapan dan telah menjadi sebuah tradisi yang dijunjung tinggi bagi masyarakat secara umum. Namun di berbagai tempat sebuah perkawinan tampak agak berbeda pelaksanaannya antara satu daerah dengan daerah lainnya disebabkan tradisi yang mereka anut, perbedaan-perbedaan yang dimaksud adalah proses tradisi sebelum upacara perkawinan dan upacara setelah perkawinan, beserta segala macam alat atau instrumen yang digunakan selama pelaksanaan upacara tersebut berlangsung yang pada prinsipnya memiliki konsepsi nilai-nilai sosial yang sangat tinggi dan mendalam sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Keterangan di atas juga menggambarkan dengan jelas bahwa perkawinan dapat terjadi karena adanya kebutuhan sex (biologis), kebutuhan rasa aman (psikologi), kebutuhan sosial ekonomi, dan sebagainya. Alasan-alasan inilah sebuah proses perkawinan sangat perlu dilaksanakan/diselenggarakan secara baik atau secara normatif (menurut adat istiadat yang telah melembaga dalam masyarakat setempat).

1. Pengertian Perkawinan.

Sungguh sudah sangat banyak para ahli mengemukakan pengertian perkawinan. Salah satu diantaranya adalah Sulaiman Rasyid (1954: 355), menurut beliau perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Hal senada dikemukakan oleh Mahmud Yunus (1979: 1), perkawinan adalah akad antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.

Secara historis dan lintas budaya, perkawinan mempunyai banyak bentuk. Para ahli antropologi khususnya, telah mencurahkan banyak energi untuk menspesifikasikan bentuk-bentuk ini dan menganalisis berbagai karekteristik ekonomi sosial dan agama yang menghasilkan aneka perkawinan.

Perkawinan dalam istilah agama Islam adalah nikah, yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar suka rela, keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah Swt.

Dari uraian di atas, jelas menggambarkan bahwa anjuran untuk kawin diwajibkan bagi orang yang mampu secara lahir dan bathin, karena dengan perkawinan hati lebih terpelihara dan bersih dari desakan nafsu, sedangkan bagi orang yang belum mampu maka diharapkan untuk dapat berpuasa guna membentengi diri dari segala godaan setan, yang dapat menjerumuskan ke dalam lumpur dosa.

Aisyah (1989) menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad antara calon pengantin untuk hidup bersama sebagai suatu pertalian suci dalam menjalin persetujuan hubungan akrab, dengan tujuan menyelenggarakan kehidupan akrab guna mendapatkan ikatan sah dalam membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia.

Selanjutnya menurut Rasyid (1954) mengatakan bahwa perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang antara keduanya adalah bukan muhrim.

Murthiko (1998) mengemukakan bahwa perkawinan adalah suatu persekutuan dari dua orang manusia yang saling mencintai, bukannya dalam artian sekedar pelukan jasmaniah secara sepintas, tapi dalam arti jangka lama, penuh serta mulia.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq (1976) memberi pengertian bahwa perkawinan adalah sesuatu cara yang dipilih oleh Allah, sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak untuk kelestarian hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan yang dicita-citakan.

Adapun maksud dari pernyataan tersebut menekankan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak hanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu saja menurut kehendak hati. Akan tetapi perkawinan itu harus berlangsung seumur hidup.

2. Hukum Perkawinan

Hukum dalam melakukan perkawinan, oleh para ulama mempunyai pandangan yang saling berbeda, antara lain:
a. Menurut pendapat jumhur ulama, bahwa perkawinan hukumnya sunat
b. Menutur Daud, perkawinan hukumnya wajib bagi yang kuat dan mampu.
c. Sebahagian ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu ada yang wajib, ada yang sunat, dan ada yang haram.

3. Tujuan Perkawinan

Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, yaitu dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur (Yunus, 1979: 1). Sedangkan Sulaiman Rasyid (1954: 356), mengemukakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memelihara dan menjaga perempuan yang lemah itu dari kebinasaan.

Nikah dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena kalau tidak, tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya. Demikian maksud perkawinan yang sejati dalam Islam sebagai penjaga kemaslahatan dalam masyarakat. Dengan kata lain, tujuan perkawinan menurut Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan tumah tangga yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah, bahagia dan sejahtera

Manusia diciptakan oleh Allah swt, dilengkapi naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Manusia diciptakan untuk mengabdikan dirinya kepada pencipta-Nya dalam segala aktivitasnya. Pemenuhan naluri manusia yang antara lain pemenuhan biologis, Allah mengatur hidup manusia dalam penyaluran biologisnya dengan aturan perkawinan. Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Sehingga kalau disimpulkan ada dua tujuan dalam melaksanakan perkawinan, yaitu untuk mememnuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.

Tujuan perkawinan, seperti tujuan setiap komunitas, ditentukan oleh hakikatnya sebagai komunitas orang-orang, perkawinan harus ditujukan pada penyempurnaan pribadi mereka, kalau tidak, maka dia bukan komunitas yang layak bagi manusia (Situmorang, 1988).

Tujuan khusus perkawinan berkaitan dengan hakikatnya, bahwa perkawinan adalah suatu institusi kodrati, didasarkan atas perbedaan kelamin yang menyebabkan pria dan wanita tertarik satu sama lain dan diundang untuk bersatu dan hidup bersama. Setiap persekutuan perkawinan disatu pihak berlandaskan persetujuan timbal balik yang bebas, cinta kasih timbal balik laki-laki dan perempuan, yang merupakan jiwa persekutuan hidup ini.

4. Perkawinan Sebagai Tradisi

Dalam kamus bahasa Indonesia maupun kamus-kamus hukum tidak ditemukan pengertian secara spesifik tentang tradisi perkawinan. Justru yang ditemukan adalah pengertian secara terpisah, yakni arti perkawinan dan arti tradisi, yang masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri.

Bila arti di atas dijadikan sebagai dasar dalam memberikan pengertian, maka esensi yang dimaksud dalam tradisi perkawinan tersebut tidak terjawab. Bahkan bisa mengaburkan pemahaman tentang makna perkawinan tradisi itu sendiri. Karenanya, perlu pemahaman secara empiris sehingga dapat mendekati unsur kebenaran dari makna perkawinan tradisi.

Perkawinan tradisi harus dipahami sebagai suatu bentuk perkawinan yang berdasar aturan-aturan kebiasaan maupun adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat setempat. Aturan-aturan tersebut merupakan suatu perwujudan kebudayaan yang terdiri dari nilai dan norma-norma. Nilai dan norma-norma itulah yang ter-refleksi kedalam bentuk tata kelakuan yang kekal dan dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan budaya, sehingga dapat memberikan kekuatan dalam berintegrasi dengan pola perilaku masyarakat.

5. Keluarga Sakinah

Keluarga sakinah adalah dua kata yang dipadu, yakni keluarga dan sakinah. Sebelum membahas keluarga sakinah, ada baiknya dibahas tersendiri apa itu keluarga dan sakinah. Para ahli telah mengemukakan berbagai pendapat tentang hal tersebut. Khairuddin (1997: 3) setelah membaca banyak definisi tentang keluarga, ia berkesimpulan bahwa pengertian keluarga adalah sebagai berikut: 1) Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak, 2) hubungan sosial di antara anggota relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan/atau adopsi, 3) hubungan antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab, dan 4) fungsi keluarga merawat, memelihara, dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial.

Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Walaupun sulit untuk menentukan atau mencari persamaan-persamaan dan cirri-ciri pada semua keluarga. Menurut Mac Iver and Page (1952: 238), cirri umum keluarga adalah: 1) keluarga merupakan hubungan keluarga, 2) berbentuk pekawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara, 3) suatu sistim tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan, 4) ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-angota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak, dan 5) merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.

Adapun kata Sakinah (Quraish Shihab, 2000: 133), terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan, atau antonim dari guncang dan gerak. Berbagai gerak bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya bermuara kepada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya penghuninya bergerak, bahkan boleh jadi mengalami guncangan di luar rumah.

Pengertian yang senada juga dapat dilihat dalam buku Pedoman Praktis Penuntun Keluarga Sakinah oleh Departemen Peranan Wanita (2003: 33), kata sakinah berasal dari bahasa Arab yang didalamnya terkandung arti tenang, tentram, terhormat, aman, penuh kasih sayang, saling mencintai, mantap dan memperoleh pembelaan. Pengertian ini pula yang dipakai dalam ayat-ayat Al Qur'an dan hadis dalam konteks kehidupan manusia. Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak, tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu. Keluarga sakinah merupakan subsistem dari sistem sosial menurut Al Qur'an, bukan bangunan yang berdiri di atas lahan kosong.

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Dengan kata lain, keluarga bahagia dan sejahtera lahir batin atau keluarga sakinah.

F. HASIL PENELITIAN

1. Konsep dan Tujuan Perkawinan Orang Mandar

Salah satu daur hidup orang dewasa Mandar adalah perkawinan / pernikahan. Bagi orang Mandar, pernikahan dipandang sebagai suatu yang sakral dan sangat dihargai. Oleh karena itu pemuka-pemuka masyarakat maupun agama serta masyarakat pendukungnya telah mengaturnya dengan cermat. Masyarakat Mandar yang religius memandang pernikahan bukan saja berarti ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai istri, tetapi lebih dari itu. Pernikahan merupakan pertalian hubungan kekeluargaan antara pihak keluarga pria dan pihak keluarga wanita yang akan membentuk rukun keluarga yang lebih besar lagi.

Sampai dewasa ini orang Mandar selalu mengharapkan baik dari pihak keluarga laki-laki maupun dari pihak keluarga perempuan agar dapat mencarikan jodoh untuk anak-anaknya yang dapat bekerja sama agar dapat saling bantu-membantu baik yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual yang mereka kenal dengan istilah sirondo-rondoi, siama-amasei, dan sianaoappa’mai’.

Hal yang paling penting dalam sebuah perkawinan bagi orang Mandar adalah adanya kerjasama, bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu, baik pekerjaan yang ringan maupun yang berat, jadi dalam hal ini menyangkut bekerja sama bergotong royong dalam membina rumah tangga. Bila sirondo-rondoi, siama-amasei, sianaoappa’mai’ yang telah disebutkan di atas, maka menjadilah satu kata yang dapat mencakup satu pengertian kerja sama, bantu membantu baik yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual yang disebut sibaliparri.

Tujuan utama dan sekaligus menjadi dasar atau alasan utama dalam meminang seorang wanita Mandar, ialah jika wanita itu dan seluruh keluarganya dapat hidup ber-sibaliparri dengan suaminya beserta seluruh keluarganya. Disamping hal tersebut ialah untuk kelanjutan keluarga (keturunan).

2. Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh.

Dulu dan bahkan sampai sekarang di Mandar yang dianggap ideal adalah perkawinan antara keluarga, terutama antara sepupu satu kali (bojang pissang), sepupu dua kali (boyang pinda’dua), sepupu tiga kali (boyang pittallung). Sehingga kalau salah seorang orang tua ingin memilih jodoh untuk anaknya. Maka terlebih dahulu dicari dalam keluarga yang masih sepupu menurut garis keturunan ayah atau ibu.

Perempuan yang paling ideal dijadikan istri adalah sepupu, utamanya sepupu satu kali, dua kali dan tiga kali. Manurut anggapan masyarakat Mandar masih merupakan yang dekat. Sehingga ketika seseorang ingin mengawinkan anaknya, maka dia akan berkata kawinkan saja dengan keluarganya (tambenganna) maka yang dimaksudkan adalah sepupu satu kali, atau kollianna yang dimaksud adalah sepupu dua kalinya. Sepupu tiga kali (boyang pittallung) yang dianggap sedikit jauh. Sehingga dengan demikian dekatlah kembali keluarga yang sudah agak jauh, rapatlah kembali famili yang hampir lepas menjadi suatu famili yang akrab kembali. Perkawinan yang ideal semacam ini pada dasarnya ditujukan pada adanya harapan agar harta kekayaan tidak jauh pada pihak lain dan agar potensi dan integrasi keluarga asal dari satu nenek moyang tetap terbina dan dipertahankan.

Perkawinan dengan keluarga jauh lainnya diatas sepupu tiga kali disebut perkawinan ma’uppi’ belayang (menyambung ikatan). Dan kini sudah banyak terjadi perkawinan diluar sepupu yaitu kawin dengan orang lain. Sekarang ini perkawinan ideal tidak lagi hanya terfokus pada keluarga semata akan tetapi sudah dikenal perkawinan diluar ikatan keluarga. Adapun sebab-sebabnya adalah karena ingin memperluas keluarga, meningkatkan gengsi sosial dan sebagainya.

Perkembangan zaman memang telah membawa dampak multi kompleks dalam berbagai sisi kehidupan di Mandar, ini juga terjadi dalam pemilihan jodoh ditandai dengan banyaknya perkawinan antar suku, karena pendidikan, ekonomi ataupun karena alasan yang lain. Sesungguhnya apa yang telah berkembang tersebut memberi gambaran bahwa kenyataannya perkawinan ideal di Mandar itu telah mengalami orientasi, sebabnya bisa karena ekonomi, pendidikan, keterbukaan ataupun alasan-alasan lainnya.

Kemudian pada prinsipnya wanita-wanita yang tidak dapat dikawini bagi orang Mandar pada umumnya sama dengan apa yang berlaku dalam ajaran Islam, demikian juga seperti yang barlaku di daerah-daerah lain seperti Bugis, Makassar, Toraja dan suku lainnya bahwa ada beberapa golongan yang tidak bisa dikawini karena barbagai alasan seperti: ana' bule (anak yang lahir dari hubungan yang tidak normal), Kadae uli’ (orang yang sakit lepra), Batua (budak atau sahaya)

3. Jenis-jenis Perkawinan di Mandar

Ada beberapa cara yang ditempuh untuk melaksanakan sebuah perkawinan di Mandar, yaitu: Siala Macoa, siala Soro’ (mundur), Sipalaiang/sipaindongan, Naottong/ma’ottong, ma’oppo’i siri’ (menutup malu), Sigenggei, Elo’ tomawuweng, dan sisalle tappere. Jenis-jenis perkawinan orang Mandar ini selengkapnya bisa dibaca pada laporan akhir penelitian.

4. Tahapan Perkawinan Orang Mandar

Tata cara pernikahan adat Mandar diatur sesuai dengan adat dan agama, sehingga merupakan rangkaian upacara yang menarik, penuh tata karma dan sopan santun serta saling menghargai. Pengaturan atau tata cara hidup mulai dari pakaian (busana) yang digunakan sampai kepada tahapan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan semuanya mengandung arti dan makna yang mendalam. Dalam pembahasan ini akan diketengahkan tahapan-tahapan prosesi pernikahan orang Mandar, mulai dari awal sampai akhir.

Upacara perkawinan orang Mandar terdiri dari tiga tahapan, yaitu sebelum hari perkawinan, pada hari perkawinan, dan sesudah perkawinan. Ketiga tahapan ini dibahas secara tuntas dalam laporan hasil penelitian.

5. Nilai-Nilai Islam dalam Perkawinan Orang Mandar

Agama Islam dan budaya Mandar tidak dapat dipisahkan, ia ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, budaya Islam – budaya Mandar, Mandar ya Islam. Posisi Agama, dalam hal ini agama Islam dengan budaya Mandar begitu erat, sehingga di Mandar masih sering terdengar ada' makkesara' – sara' makkeada' (adat kebiasaan yang berlandaskan agama – agama yang berlandaskan adat kebiasaan). Konsep seperti ini terdapat pada semua lini dan daur hidup orang Mandar, termasuk di dalamnya perkawinan.

Pada acara perkawinan, unsur-unsur Islam sangat kental di dalamnya, sebagai contoh, mulai awal pemilihan jodoh yang disebut mappesissi' (memilih calon) sudah berlandaskan ajaran Islam. Di Mandar masih sering terdengar bahwa dalam memilih pasangan seorang calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan diharuskan maajappui sulapa' appe' (memahami empat sisi), ini sejalan dengan dengan hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
تنكح المرأة لأربع لمالها ولنسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك.
"Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, yaitu: karena hartanya, katurunannya, kecantikannya, dan agamanya, namun nikahilah karena agamanya (jika tidak), niscaya kamu sengsara". (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An Nasa'i).

Sesungguhnya agama merupakan hal yang sangat penting di dalam membina kehidupan rumah tangga. Sebab suami yang senantiasa taat kepada perintah agama dan menjauhi laranyan-Nya akan menjadi suami yang baik bagi sang istri dan dapat dipercaya. Begitu juga dengan sorang istri yang shalihah, dmana ia akan selalu menjaga kehormatannya, sangat perhatian dengan rumah tangganya, pendidikan anak-anak serta menjaga hak-hak suaminya. Karena agama merupakan menengah diantara dua kekuatan, yaitu amarah dan syahwat. Dengan agama, segala kejahatan serta kerusakan moral akan cepat terobati. Agama adalah sesuatu, sementara berlebih-lebihan di dalam agama merupakan sesuatu yang lain. Agama dalam memilih jodoh di Mandar juga menjadi hal yang penting, dalam kalinda'da' ---pantung yang sarat nasihat-nasihat--- mengemukakan bahwa seorang gadis nanti ridha dilamar bila laki-lakinya mempunyai dua sifat, yaitu berani dan tahu agama, kalinda'da' itu berbunyi:

I'o diting bunga koda
Dao melo' disullu'
Mua' Tania to mamea gambana
Tamma' topa mangaji

Kamu bunga koda (kiasan untuk gadis)
Jangan mau di lewati (dikawini)
Kalau bukan yang merah ikat pinggangnya (pemberani)
Dan juga tamat mengaji.

Jadi ada dua hal yang perlu dimiliki oleh seorang laki-laki, yakni pemberani, yakni berani dalam kebenaran dan juga bisa mengaji. Bisa mengaji bisa diartikan mengetahui seluk beluk agama, mengetahui hak dan kewajiban sebagai suami istri. Mereka berprinsip bahwa dengan sifat seperti itu mereka akan bisa terhormat dalam hidup ini.

Selanjutnya, setelah menemukan calon yang pas dengan anak laki-lakinya, orang tua laki-laki memusyawarahkannya dengan anak dan keluarga dekatnya, seperti anak-anaknya yang lain dan saudara-saudaranya baik pihak istri mapun bapak. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada menyesalan dikemudian hari. Musyawarah yang mereka lakukan adalah pengejewantahan dari ajaran agama Islam yang dianut oleh masyarakat Mandar, perintah bermusyawarah dalam setiap pekerjaan adalah anjuran Allah SWT, Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 159:
....وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ...(159)
….. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. …

Di Mandar, sudah menjadi tradisi, kegiatan apapun yang dilakukan, seperti naik rumah baru, aqikah, peringatan hari besar Islam selalu diiringi pembacaan Kitab Barzanji. Kitab Barzanji yang dibaca berisi cerita Nabi Muhammad SAW. Dalam acara perkawinan diadakan pembacaan Kitab Barzanji dilakukan sebelum acara pallattigian. Sebuah acara tanpa pembacaan barzanji dianggap tidak lengkap, maka pembacaan Kitab Barzanji ini sangat disakralkan. Para pembacanya adalah tokoh agama dan atau pegawai masjid. Dalam pembacaan Barzanji, tuan rumah menyediakan buah tangan yang akan di bawah pulang oleh para pembaca Barzanji tersebut. Isi buah tangan yang disebut barakka' itu berisi beraneka ragam jenis kue, dan makanan khas daerah.

Prosesi adat yang paling disakralkan dalam sebuah perkawinan adalah acara pelattigian, dalam acara inipun sarat dengan nilai Islam, selain acara ini didahului pembacaan Kitab Barzanji ---yang berbahasa Arab--- juga pada acara ini, mereka mengutamakan tokoh agama, dalam hal ini Qadhi atau Imam, menyusul tokoh-tokoh adat, dan tokoh masyarakat lainnya. Dengan demikian tampak bahwa masyarakat Mandar dalam perilakunya sangat menghargai tokoh agama, dalam hal ini agama Islam.

a. Keluaga Sakinah Bagi Orang Mandar

Menurut DR. H. Achmad Mubarok, M.A, (2003) dalam sebuah kajian Al Qur'an tentang keluarga sakinah pada kajian masyarakat Intelektual di masjid Istiqlal, menyampaikan bahwa tema keluarga disebut Al Qur'an dalam rangkaian sub tema pokok system sosial (nizam ijtima'iy) menurut Al Qur'an. Dalam hal sistem sosial, Al Qur'an berbicara tentang manusia sebagai individu, keluarga dengan segala persoalannya dan persoalan-persoalan sosial. Dikemukakan bahwa tidak kurang dari 53 persoalan, antara lain: manusia lelaki dengan segala tanggung jawabnya, keharusan menjaga kehormatan wanita (kesetaraan jender), pernikahan atau perkawinan, talak, nusyuz atau perselisihan suami istri, zina, keharusan melindungi kehormatan wanita muhsanat (istri orang), hak anak-anak, menyusui anak, hak-ahak anak yatim, perlindungan hak-hak anak gadis dan sebagainya

Keluarga sakinah sebenarnya istilah yang khas Indonsia yang menggambarkan suatu keluarga yang bahagia dalam persfektif ajaran Islam. Keluarga sakinah adalah suatu ungkapan untuk menyebut sebuah keluarga yang fungsional dalam mengantar orang pada cita-cita dan tujuan membangun keluarga. Dalam bahasa Arab dengan Usrah Sa'idah, keluarga bahagia.

Pertanyaannya sekarang adalah adakah keluarga sakinah itu di Mandar? Selama penelitian ini dilakukan, kata-kata itu tidak pernah terdengar, bahkan mereka tidak mengetahuinya. Akan tetapi, konsep keluarga sakinah yang disebutkan di atas, mereka mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam ungkapan yang lain. Adapun rumah tangga yang ideal (sakinah) bagi mereka adalah rumah tangga yang masagena, penghuninya ber-sibaliparri, siannang siri anna sioppoang siri', sianauang pa'mai', dan lain-lain.

Masagena yang arti harpiahnya, sejahtera, bagi mereka masagena bukan semata-mata harta benda, akan tetapi masagena adalah terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin. Terpenuhinya kebutuhan lahir, keluarga masagena akan menerima apa adanya, istri yang baik akan menerima apapun penghasilan suaminya, tidak banyak menuntut kepada suaminya. Bahkan perempuan banyak membantu suaminya dalam bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangganya, yang mereka sebut sibaliparri.

Sibaliparri yang merupakan kata idiom, berasal dari suku kara si yang artinya saling, berhadapan; bali artinya, jawab, musuh; bali yang mendapat awalan me dan akhiran i (mebalii) berarti membantu; dan kata bali mendapat awalan mam atau mappa (mebali atau mappabali) berarti menjawab. Dan parri artinya susah (Muthalib: 7). Menurut Sahur (1984), sibaliparri berarti saling membantu dalam segala sesuatu baik materil maupun sprituil)

Prilaku kerjasama kesetaraan antara pria dan wanita yang mereka kenal dengan istilah Sibaliparri. Sibaliparri yang mengandung makna gotong royong, saling pengertian, bantu membantu antara suami istri didukung isi keluarga dalam membangun rumah tangga tersebut, berjalan sejak lama di Mandar. Konsep tersebut, berkaitan dengan kerja dan pekerjaan tanpa tidak ada perbedaan yang menyolok antara pria dan wanita, serta mereka sama-sama bisa bekerja sesuai dengan kodratnya. Bagi masyarakat Mandar, kerjasama suami istri dalam keluarga tidak menjadi masalah. Sibaliparri menurut mereka mengandung makna gotong royong antara pria dan wanita secara setara dengan pembagian kerja yang seimbang, kesederajatan, ikhlas, penuh kasih sayang, harmonis, adil, saling pengertian, dalam rasa solidaritas kehidupan rumah tangga sebagai suami istri.

Siannang siri anna sioppoang siri' artinya menahan malu dan menutup malu, malu disini adalah kekurangan masing-masing individu. Orang Mandar yakin bahwa setiap individu semua mempunyai kekurangan dan kelebihan. Dalam rumah tangga senantiasa menjaga kekurangan. Antara suami istri yang saling memahami dan menerima kekurangan dengan tidak membeberkannya ke masyarakat akan menimbulkan perasaan sianauang pa'mai', saling menyayangi dalam keadaan suka dan duka..

2. Sorotan Beberapa Aspek

Walaupun perkawinan di Mandar berlandaskan kepada nilai-nilai agama dan adat akan tetapi ada beberapa yang perlu mendapat sorotan. Salah satu perilaku sebahagian kecil masyarakat Sendana Mandar adalah mengawinkan anaknya dalam usia terlalu muda. Kawin usia muda sebenarnya tidak dilarang dalam agama, akan tetapi pemerintah mengatur usia perkawinan Karen melihat dampak yang bisa ditimbulkan, seperti resiko pendarahan pada saat melahirkan di usia muda, belum mapannya pemikiran untuk berumah tangga. Kebelum mapanan atau ketidaksiapan berumah tangga sangat rawan akan retaknya rumah tangga. Bagi masyarakat Mandar mempunyai sanksi moral bagi mereka yang cemat berumah tangga akan tetapi gagal dalam rumah tangganya, sebagaimana yang terdapat dalam kalinda'da:

Bemme'dami tiparopang
Mattinro' pamboyangan
Nasanga sokol
Nasanga se'de manu'

Jatuh tertelungkup sudah
Mengejar berumah tangga
Disangkanya Sokkol
Disangkanya lauk dada ayam

Dari sekian banyak jenis perkawinan di Mandar, ada beberapa perkawinan yang tidak ideal, seperti sigenggei, dipaindongan, naottong/ma'ottong. Apabila hal ini terjadi dengan bebagai latar belakangnya, biasanya orang tua yang tidak merestui melaknat atau mengusir anaknya, pengusiran itu mereka sebut lipas. Lipas adalah pengusiran terhadap anak atau orang tua tidak lagi mengakui anaknya. Hal ini bisa dihindari dengan pemahaman antara orang tua dengan anak, akan tetapi hal semacam ini susah dihindari karena alasan-alasan keduniaan.

G. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti berkesimpulan bahwa:
Sistem perkawinan yang berlaku pada masyarakar Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Kajene adalah pemaduan dua unsur, yakni unsur budaya Mandar dan Agama Islam.
Nilai-nilai Islam dalam perkawinan pada masyarakat Mandar sangat kental, itu tampak mulai dari pemilihan jodoh sampai berakhirnya acara resepsi perkawinan.
Bagi masyarakat Mandar yang berdiam di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene belum faham tentang keluarga sakinah sebagaimana yang diprogramkan oleh pemerintah, namum mereka mempunyai konsep tersendiri tentang keluarga ideal.

H.


DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Aiyah, 1989, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama Islam Dalam Rumah Tangga, Surabaya: Jenmar.
Departemen Peranan Wanita, 2003, Pedoman Praktis Penuntun Keluarga Sakinah, Jakarta: Pengurus Pusat Persaudaraan Haji Indonesia.
Khairuddin, 1997, Sosiologi Keluarga, Liberty, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1989, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat.
Massijaya, M. Yusuf, dkk, 1985, Hukum Adat II, Ujungpandang: Pusat Jaya Rizka Abadi.
Murthiko, dkk, 1998, Sorga Perkawinan, Solo: CV. Aneka
R.M. Mac Iver and Charles H. Page, 1952, Society an Introductory Analysis, London: MacMillan & Co. LTD.
Rasjid, Sulaiman, 1954, Fiqhi Islam, Jakarta: at Tahriyah.
Rasjid, Sulaiman, 1954, Fiqhi Islam, Jakarta: Intermasa.
Sabiq, Sayyid, 1976, Fiqhus Sunnah, Bandung: Al Ma'rif.
Shihab, M. Quraish, 2000, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al Qur'an, Bandung: Mizan
Situmorang, Victor, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Jakarta: Bina Aksara.
Soemiyati, 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberti
Wignyodipuro, Soeroyo, 1980, Pengantar Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Haji Masagung.
Yunus, Mahmud, 1979, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung.