I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Ritual nelayan terkait dengan pekerjaannya:
- Nelayan menghadapi kehidupan yang sangat keras dan menantang;
- Selalu berhadapan dengan gelombang laut & cuaca yg tdk menentu;
- Sewaktu-waktu mengancam keselamatan diri;
- Pendapatan tidak jelas, kadang berhasil, kadang tidak ada dan dengan begitu berada dalam ketidakpastian;
- Mengakrabi Supranatural dan Ritual menjadi alternatif pilihan;
2. Victor Turner: membagi ritual ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu:
1) Ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia.
2) Ritual (adanya) gangguan
3. Persoalannya kemudian adalah:
- Bagaiamana ritual nelayan ketika berhadapan dgn pengaruh Islam;
- Dan bagaimana dgn nelayan yg sdh masuk kategori moderen;
- Konteks Islam memandang beberapa ritual nelayan beraroma mistik, tahayul dan tidak sesuai sesuai dengan aturan syariat;
- Perspektif nelayan moderen memandang aktivitas melaut adalah aktivitas ekonomi, tdk lagi berdasarkan supranatural, tetapi pada kekuatan rasional dan teknologi;
4. Pertemuan dua arus kebudayaan melahirkan dua model relasi dan situasi yaitu dominasi dan integrasi.
5. Terjadi pertemuan dua Kebudayaan antara Islam dan kebudayaan Mandar, modernitas dengan lokalitas. Islam diterima karena 3 hal, yaitu:
1) Terdapat benih religi sebelumnya (aspek kepercayaan dan ritual);
2) Islam dipandang memiliki kemiripan dengan kepercayaan lama;
3) Nilai-nilai Islam dipandang sebagai kebenaran.
6. Islam turut berperan mengkonstruksi kebudayaan lokal dengan bingkai agama dan menjadi Islam lokal dan menjadi identitasnya.
B. Rumusan Masalahan
“Ritual Nelayan Mandar Pambusuang merupakan ritual yang sudah terakulturasi antara Islam dengan tradisi local, hanya belum diketahui persis bentuk akulturasi yang dinampakkan sebagai formulasi terciptanya Islam lokal dan menjadi identitas kebudayaan nelayan Mandar; begitupula belum jelas karakteristik atau corak Islam di dalamnya”.
Pertanyaan yang sekaligus sebagai unsur utama dalam penelusuran yaitu:
1. Bagaimana gambaran ritual nelayan Mandar Pambusuang?
2. Bagaimana akulturasi antara Islam dengan budaya lokal terjadi dalam berbagai bentuk ?
3. Bagaimana karakteristik atau corak Islam lokal yang mewarnai nelayan Mandar?
4. Bagaimana implementasi akulturasi Islam dalam Konstruksi Nilai Budaya?
C. Kajian Pustaka
1. Beberapa Penelitian Tentang Masyarakat Nelayan
1.1 Penelitian Eymal B. Demmalino: “Transformasi Sosio Kultural: Model Pengembangan Masyarakat Nelayan”. Eymal B. Demmalino mensinyalir penyebab kemiskinan nelayan, yakni tidak lagi terpaku pada persoalan eksploitasi dan teknologi yang mengakibatkan rendahnya produktivitas, melainkan berpangkal pada persoalan mentalitas kelemah-adab-karsaan. Persoalan mentalitas ini terbentuk melalui proses historis yang cukup panjang, yaitu pengaruh paham Islam Sufi (sufistik) dan pengaruh paham kapitalistik yang ditiupkan oleh kolonial Belanda. Tampaknya Emayl B. Demmalino tidak melihat orientasi nilai tentang makna kerja, mereka sudah merasa puas dengan apa yang selama ini diperoleh; sementara apa yang diperolehnya itu dilihat sebagai posisi aturan nasib atau ukuran rizki nelayan memang di seputar itu.
Hasil penelitian Eymal B. Demmalino belum dapat digeneralisasi, karena Nelayan Mandar di Pambusuang Polman Hingga saat ini masih banyak yang menggunakan teknologi tradisional ketika melakukan operasinya. Pilihan terhadap cara tersebut, tidak berarti mereka memiliki sikap kelemah-adab-karsaan, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, motivasi dan semangat untuk melaut cukup tinggi, semua tantangan yang menjadi beban dipinggirkan.
1.2 Penelitian Yusri Abadi tentang “Spirit Agama di Masyarakat Nelayan Pancana Barru”. Muhammad Darwis menelusuri “Mistik Bagi Kaum Nelayan di Desa Siddo.” Penelitian Yusri Abadi dan Muhammad Darwis mempertegas, bahwa keyakinan dan praktik religiusitas nelayan menggunakan religi yang bercorak lokal dan bercampur dengan Islam sufistik dalam membangkitkan motivasi serta semangat kebahariannnya.
Secara tematik, Isu spritualitas nelayan yang diangkat oleh Yusrie Abady dan Muhammad Darwis memiliki relevansi dengan kajian yang peneliti lakukan pada disertasi ini. Perbedaan mendasar terletak pada fokus kajian yang menemukan perjumpaan Islam dan spritualitas nelayan yang melahirkan satu bentuk yang dikenal dengan Islam lokal. Penelitian dalam disertasi ini lebih banyak memfokuskan kajian pada implementasi ritual nelayan dalam berbagai bentuk setelah terjadinya akulturasi sebagai formulasi terbentuknya Islam lokal. Tentu, nuansanya berbeda dan tidak berhenti pada perjumpaan Islam dan tradisi lokal, tetapi dilakukan pengembangan. Pembahasan ini semakin memperjelas apresiasi ritualitas nelayan dalam menghadapi berbagai situasi, baik dalam keadaan riang gembira maupun dalam keadaan susah.
2. Kerangka Teori
a. Teori Tentang Religi
Teori tentang religi secara akademik dimunculkan oleh kelompok intelektual antropolog dan sosiolog seperti EB. Tylor, G. Frazier, Evan Pritchard, Emile Durkheim, hingga Clifford Geertz. Tema perdebatan dalam teori tentang religi adalah apa yang mempengaruhi manusia untuk melakukan penyembahan atau ritual yang kemudian membentuk sistem religi? Jawaban terhadap pertanyaan itu memunculkan beragam cara pandang, tetapi berujung pada satu titik, yaitu adanya kepercayaan terhadap kekuatan di luar diri manusia yang bisa memberi ancaman dan jaminan keberlangsungan hidup.
1) Tylor mengajukan teori tentang jiwa yang kemudian dikenal dengan istilah animisme.
2) Codrington mengajukan teori tentang mana (kekuatan gaib).
3) RR. Marret dan Edward Noerbeck, teori tentang supranatural. penganut paham supernaturalistik memandang religi sebagai ide dan tingkah laku yang berhubungan dengan kepercayaan di dalam kekuatan-kekuatan dan nama-nama yang tidak dapat dijelaskan secara konvensional.
4) Frazier memunculkan teori tentang magi.
5) Durkheim. Menurut Emile Durkheim, agama adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang sakral kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal."
6) Clifford Geertz memandang religi sebagai sebuah sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi kuat yang meresap dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep mengenai sesuatu tatanan umum, dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.
Pada prinsipnya berbagai perspektif teoritik tentang religi mengandung empat unsur pokok sebagai ciri umum. Keempat unsur tersebut adalah: 1) emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan keagamaan (religi); 2) sistem kepercayaan atau bayangan-bayangan manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, hidup, maut dan sebagainya; 3) sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan yang dianut; 4) kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacaranya.
b. Teori tentang Ritual
1) Mudjahirin Thohir, ritual merupakan bentuk dari penciptaan atau penyelenggaraan hubungan-hubungan antara manusia kepada yang ghaib, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia kepada lingkungannya. Berdasar pada pengertian itu ritual mempunyai fungsi ekspresif dan fungsi kreatif.
2) Winnick: Ritual , ialah ”a set or series of acts, usually involving religion of Magic, with the sequence estableshed by tradision ... they often stem from the daily life..” ritual ialah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi yang dimantapkan melalui tradisi. Ritual tidak sama persis dengan sebuah pemujaan, karena ritual merupakan tindakan yang bersifat keseharian.
3) Dhavamony: ritual sebagai suatu kenyataan yang di dalamnya melibatkan persoalan mistis. Ia membagi ritual dalam empat kategori: pertama, tindakan magi yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya mistis; kedua, tindakan religius, kultus leluhur juga melakukan hal serupa dengan cara mistis; ketiga, ritual konstitutif yang mengungkapkan atau merubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, spesifikasi cara ini nampak lebih jelas; keempat, ritual faktitif terkait dengan peningkatan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan perlindungan, istilah lainnya adalah terkait dengan persoalan peningkatan kesejahteraan.
Kategori ritual Dhavamony sangat tepat digunakan untuk mengamati dan menganalisis ritualitas masyarakat nelayan. Khususnya model ritual konstitutif dan faktitif. ritual yang dilakukan pada prinsipnya adalah penghormatan terhadap kekuatan alam semesta dan sekaligus dapat membangkitkan kekuatan, motivasi dan semangat kebaharian atau bersifat konstitutif. Ritual juga berfungsi untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan atau bersifat faktitif. Dalam konteks tertentu, praktik ritual nelayan lebih banyak berada dalam ranah faktitif ketimbang konstitutif.
c. Akulturasi Islam dan Tradisi Lokal
Isu tentang relasi Islam dan kebudayaan lokal menjadi perhatian yang menarik di kalangan ilmuwan sosial dan antropologi.
1) Clifford Geertz, mengkonstruksi sebuah konsep yang dikenal dengan istilah Islam abangan, santri dan priyayi. Islam abangan adalah konsepsi tentang model Islam sinkretik.
2) Beatty. Ia seperti halnya Geertz memahami bahwa agama Jawa dengan pusat ritual pada slametan adalah sebuah tindakan sinkretik. Slametan merupakan medium yang mempertemukan berbagai stratifikasi sosial. Oleh karena itu, terdapat ambiuitas simbol ritual yang berhubungan dengan variasi dan tingkatan di dalam struktur sosial.
3) Erni Budiawanti melakukan penelitian pada komunitas Sasak setuju dengan teori sinkretisme Islam dengan tradisi lokal. Islam Wetu Telu adalah Islam sinkretik dan bersifat nominal. Masuknya Islam ke dalam tradisi Sasak tidak menghilangkan secara keseluruhan praktik kebudayaan tradisional. Islam sasak dipandu oleh adat dan tradisi lokal.
4) Woodward, tidak sependapat dengan teori Geertz tentang Islam sinkretik. Ia melakukan penelitian di Jogyakarta. Menurut Woodward, hubungan antara Islam dan tradisi lokal (yang dianggap sebagai warisan tradisi Hindu) tidak bersifat sinkretis, tetapi bersifat kompatibel. Jadi Islam Jawa bukanlah Islam animistis dan sinkretis, tetapi Islam yang kontekstual dan berproses secara akulturatif.
5) Muhaimin AG. Menurutnya, menelusuri Islam dari sudut pandang sinkretisme ternyata tidak cukup memberi penjelasan yang komprehensif tentang Islam Jawa. Dibutuhkan upaya lebih luas memaknai ekspresi keagamaan, sistem kepercayaan, dan ritual lokal seperti slametan dengan mengaitkannya dengan jalinan ibadah dan adat yang diturunkan dari teks-teks Islam seperti Alquran, hadits, dan karya ulama terdahulu. Islam tradisi berarti sesuatu model akulturasi yang tidak stagnan, dan terus berlangsung secara kompatibel dan kontekstual. Perubahan-perubahan segera terjadi seiring dengan perubahan situasi dan konteks yang sedang terjadi di sekelilingnya.
6) Bassam Tibi memandang bahwa terdapat berbagai variasi dalam Islam. Ini disebabkan karena konteks lokalitas dimana Islam itu berada. Dalam konteks itu, Tibi mengusulkan perlunya upaya melihat Islam dalam kerangka models of reality (model-model dari realitas) dan models for realitiy (model-model untuk realitas). Agama Islam dalam kerangka models of reality menggambarkan kongruensi struktural dengan obyek yang digambarkan. Di sisi lain, sebagai model untuk realitas bersifat abstrak, berupa teori, dogma, doktrin yang tidak merupakan kongruensi struktural.
7) Mulder, menggunakan konsep tentang lokalitas sebagai medan pergulatan antara Islam dan budaya lokal. Secara spesifik Mulder ikut menolak teori sinkretisme. Sinkretisme menurutnya sangat mengaburkan proses relasi antara dua unsur yang berbeda. Lokalitas senantiasa mengandaikan adanya unsur yang selalu menyesuaikan. Islam yang datang belakangan menyesuaikan diri dengan unsur lokal.
8) Nur Syam berpendapat bahwa konsep sinkretisme mengandung kelemahan karena mengabaikan adanya dialog antara Islam dan budaya lokal. Kajian sinkretisme memberi legitimasi bahwa Islam hanya nominal saja, aspek pelengkap. Inti dari semuanya adalah nilai lokal. Padahal tradisi Islam lokal adalah hasil dari konstruksi sosial yang memiliki keunikan. Ia tidak bercorak genuin Islam dan tidak juga bercorak kejawen.
Berbagai kajian di atas telah menghasilkan konsep yang bervariasi. Geertz, Beatty, Radam, dan Budiawanti menghasilkan konsep sinkretisme Islam. Mulder dengan pendekatan local genius menghasilkan konsep lokalitas. Woodward melalui pendekatan aksioma struktural dan Muhaimin melalui pendekatan alternatif menghasilkan konsep Islam akulturatif, dan Nursyam melalui pendekatan konstruksi sosial menghasilkan konsepsi.
Teori relasi Islam dan tradisi lokal yang menarik untuk digunakan adalah teori pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pribumisasi Islam adalah upaya ”mengokohkan kembali akar budaya dengan tetap menciptakan masyarakat yang taat beragama”.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif empirik, dan menggunakan metode grounded research, suatu metode penelitian yang mengkaji secara mendalam dunia empirik dengan menggunakan data sebagai sumber teori. Dasar pemikiran metode ini adalah mencari kesimpulan secara induktif, data sebagai sumber teori.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Pambusuang, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan: pertama, Desa Pambusuang dikenal sebagai daerah nelayan, sekitar 70 % penduduk dewasa berkiprah di sektor nelayan; kedua, di desa ini telah diperkenalkan paket teknologi kenelayanan, meliputi mesinisasi perahu dan teknologi penangkapan ikan serta pengenalan aturan-aturan baru di lingkungan kerja nelayan; ketiga, sekalipun telah hadir teknologi baru di tengah-tengah nelayan, tetapi masih banyak yang menggunakan teknologi lokal, seperti dalam upaya mencari telur ikan terbang (telur ikan tuing-tuing) atau pattallo, parroppong dan pangoli. Keempat, nelayan Desa Pambusuang masih rutin melakukan kegiatan ritual. Kelima, Desa Pambusuang dikenal sebagai desa ulama atau desa santri. Banyak tokoh agama yang lahir dari sini, karena di desa Pambusuang dilestarikan sistem pengajaran Islam berbasis rakyat, tanpa melalui sekolah formal.
3. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini ialah nelayan yang berpengalaman, pernah mengikuti pelayaran penangkapan dan pencarian ikan/telur ikan terbang dengan menggunakan perahu layar sandeq atau jenis lain (teknologi lokal dan moderen). Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian diambil dari sekelompok kasus bagi punggawa maupun sawi.
4. Studi Lapangan
a. Pra-Penelitian
Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti telah pernah melakukan penelitian tentang religi komunitas nelayan di beberapa tempat di Polman, termasuk di Desa Pambusuang.
Selain itu, pengalaman penulis sebagai orang Mandar sedikitnya memberi pemahaman tersendiri tentang konstruksi sosial masyarakat tineliti. Apalagi, di desa ini terdapat jaringan kerabat peneliti. Pengalaman ini memberikan kerangka referensi kepada peneliti mengenai situasi yang terjadi, misalnya mengenai tradisi kuliwa.
b. Pengumpulan Data
1) Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan waktu yang cukup panjang, secara formal dimulai pada tanggal 1 April 2008 hingga Oktober 2009. Awalnya tinggal hidup bersama komunitas nelayan di Pambusuang selama 3 minggu, kemudian bolak-balik dari Makassar ke Pambusuang Mandar. Kadang bermalam satu minggu, khususnya ketika musim-musim penangkapan telor ikan terbang, biasa juga hanya tiga hari, terutama untuk mengkonfirmasi atau pengecekan data yang dibutuhkan. Selain dengan cara berkunjung dan hidup bersama komunitas nelayan, cara lain untuk pengumpulan data juga dilakukan, yaitu dengan jalan komunikasi via HP (telepon seluler). Pengumpulan data via HP dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi, cara seperti ini dilakukan hingga tahun 2010 (saat konsultasi pembimbingan sedang berjalan). Terus terang, ini dilakukan dengan alasan pribadi terkait dengan pekerjaan di kantor tempat penulis bekerja.
2) Jenis Data yang Dicari
Data etnografis yang dicari dalam penelitian adalah fenomena kehidupan masyarakat nelayan Pambusuang berkaitan dengan pergulatan tradisi ritual dengan Islam dan modernitas, serta pandangan mereka terhadap aktivitas kenelayanan yang dilakukan. Kategori data ini digolongkan sebagai data primer. Data ini menuntun pemahaman penulis mendeskripsikan konteks sosial masyarakat nelayan Pambusuang pada tingkat analisis data.
Data primer mencakup hal-hal yang berkaitan dengan unsur-unsur yang dicari, terutama yang menyangkut sistem religi pada masyarakat nelayan dan perilaku ritual kenelayanan, seperti meliputi : 1) aspek kepercayaan terhadap yang ghaib dan yang nyata; 2) tujuan ritual; 3) waktu palaksanaan; 4) bahan dan alat ritual; 5) prosedur ritual; 6) bacaan-bacaan atau mantra-mantra yang digunakan dan difungsikan sebagai media untuk mengingat dan menghubungkan diri dengan kekuatan gaib; 7) simbol-simbol atau lambang-lambang yang dipakai, baik dalam kesehariannya maupun yang terkait dengan profesi nelayan; 8) aturan-aturan yang diberlakukan, meliputi anjuran-anjuran dan pantangan-pantangan yang harus dihindarkan. Ditelusuri pula, pola hubungan kemasyarakatan antara punggawa dan sawi, punggawa dan masyarakat non-nelayan, hubungan komplementer antar suami-isteri, antara punggawa-annang guru, dan sawi annang guru. Selain data etnografis yang bersifat primer, peneliti juga mengambil data sekunder mengenai gambaran umum lokasi penelitian baik dari sisi geografis maupun dari sisi demografis.
3) Teknis Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan cara:
a) Wawancara bebas
Peneliti terlibat wawancara bebas dengan kelompok informan dari kalangan sawi, dan masyarakat umum. Wawancara dilakukan sefleksibel mungkin sehingga informan merasa tidak sedang diwawancarai.
b) Wawancara berstruktur.
Wawancara mendalam dan terstruktur dilakukan untuk memahami “secara serius” makna-makna dari tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh pelaku ritual. Wawancara terstruktur dilakukan kepada informan ahli, terutama para sando lopi, punggawa, annang guru, dan pemerintah desa.
c) Pengamatan langsung.
Pengamatan langsung dan bersifat partisipatif terutama dilakukan untuk melihat secara langsung tindakan-tindakan para nelayan baik yang berkaitan dengan tindakan penangkapan ikan, dan ritual-ritual yang mereka lakukan berkaitan dengan aktivitas melaut. Keikutsertaan penulis dalam aktivitas mereka di laut memudahkan penulis mengamati perilaku mereka, khususnya yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap laut.
d) Studi Dokumentasi.
Pengumpulan data melalui sistem dokumentasi dilakukan dengan tiga cara yaitu pencatatan (field note), perekaman dengan radio, dan perekaman dengan camera digital. Penjaringan data sekunder dilakukan melalui kegiatan penelaahan dokumen-dokumen formal dan nonformal. masyarakat.
5. Sumber Data
Pada penetapan sumber informasi (informan) yang benar-benar sesuai dengan arah penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive dengan berdasarkan pada kategorisasi tertentu, terutama kompetensi mereka terhadap materi yang sedang diteliti, Peneliti menetapkan 26 orang informan sesuai kategori yang telah dibuat sebelumnya.
6. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data sesuai dengan sifatnya. Data yang sifatnya kuantitatif, khususnya data kependudukan, dibuat dalam bentuk tabel, kemudian dijelaskan secara rinci sesuai dengan konteksnya, seperti halnya data tentang kependudukan. Data yang sifatnya kualitatif, terutama dari hasil wawancara bebas dan hasil pengamatan, diolah secara kualitatif, sesuai dengan jenis data dan tujuan penelitian.
II. HASIL TEMUAN PENELITIAN
1. Ritual nelayan Mandar pada dasarnya terkait dengan penghidupannya di laut, kepercayaannya terhadap Puangalla taala (Allah swt), alam gaib dan hal-hal yang membahayakan di laut. Kepercayaan terhadap Tuhan dan alam gaib adalah pusat dari seluruh proses ritual. Tujuan utama dari ritual adalah untuk mendapatkan rezeki yang memadai, perlindungan dari Tuhan (sebagai penguasa laut yang direpresentasikan kepada Nabi Khidir) guna menghindarkan diri dari bahaya laut (seperti kawao, badai, hantu laut), demikian juga untuk memperoleh barakkaq.
Ritual nelayan Mandar pada prinsipnya dapat dibagi dalam tiga tahapan besar, yaitu 1) ritual konstruksi, ritual konstruksi berkaitan dengan ritual yang dilakukan sebelum turun ke laut, yaitu pembuatan perahu, dimulai dari ritual penebangan pohon, pembuatan perahu, hingga ritual penurunan perahu untuk pertama kalinya ke laut. 2) Ritual produksi terkait dengan saat turun ke laut termasuk makkuliwa dan maqappu; 3) Ritual distribusi berupa upacara syukuran atas hasil tangkapan yang diperoleh seperti mappabuka (upacara syukuran pada Bulan Ramadhan).
Ritual nelayan Pambusuang (terutama tradisi makkuliwa) dapat eksis sejauh ini karena nelayan (khususnya di tingkat punggawa) meyakini bahwa ritual ini dapat memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan rasa aman, mendapatkan kemudahan rezeki dan sekaligus memperoleh barakkaq. Artinya, ritual ini merupakan bagian dari organisme masyarakat nelayan yang berfungsi menjaga ritme sosial agar tidak terjadi ketimpangan. Para nelayan menganggap keberhasilan aktivitas kenelayanan sangat dipengaruhi oleh ritual tersebut.
2. Akulturasi Islam dan budaya lokal nelayan Mandar dimulai dari kedatangan para ulama penganjur Islam di Mandar. Situasi nalar Mandar saat itu sangat dipengaruhi dengan perspektif kosmologi tradisional yang secara konsepsional berbeda dengan Islam. Para ulama melakukan proses transformasi dengan menggunakan nalar Islam sufistik yang ramah dengan tradisi lokal. Dengan perspektif sufisme ulama tersebut memudahkannya masuk ke dalam ruang epistemologi masyarakat Mandar. Pendekatan sufistik menjadi metode sangat tepat digunakan mengingat masyarakat Mandar, kala itu kebanyakan masih percaya dengan ilmu kesaktian dan kegaiban seperti ilmu yang disebut dengan awayang kaddaro, atau ilmu kekebalan tubuh.
Ada dua model relasi antara Islam dan tradisi lokal pada masyarakat nelayan Pambusuang. Kedua model relasi ini kemudian membentuk suatu habitus baru yang disebut tradisi Islam lokal.
Model pertama, dialog yang mempertemukan Islam dan budaya lokal dengan menempatkan religi dan ritual lokal sebagai medan kontestasi. Misalnya tradisi makkuliwa. Tradisi ini merupakan tradisi warisan leluhur yang telah dikenal oleh nelayan sebelum datangnya Islam. Kedatangan Islam memberi pengaruh terhadap terjadinya perubahan mantra-mantra dan agen budaya. Perspektif lokal tentang penguasa laut juga mengalami persentuhan dengan Islam tanpa merubah secara total sistem kepercayaan tentang laut. Islam sebagai agama dominan tidak menolak nalar nelayan untuk percaya dengan kekuatan di laut, namun memberi sentuhan perspektif Islam.
Model kedua, adalah dialog yang mempertemukan Islam dan budaya lokal dengan menempatkan tradisi Islam sebagai arena pertemuan. Misalnya tradisi mapatammaq Koroang (penamatan Alquran), dan aqiqah. Tradisi ini merupakan tradisi Islam, dan dikenal oleh masyarakat Pambusuang sejak Islam mulai diterima sebagai agama resmi. Tradisi ini mendapatkan sentuhan lokal dengan menghadirkan pagelaran saiyang pattudduq, dupa, dan kue-kue tradisional yang biasanya digunakan untuk melakukan ritual kenelayanan berbarengan dengan pembacaan barzanji. Model kedua ini menunjukkan adanya kreatifitas artistik sekaligus etis dalam masyarakat nelayan Mandar.
3. Corak Islam lokal bersifat sufistik, Nalar sufisme dalam praktik keislaman nelayan Mandar dapat ditemukan dalam 3 (tiga) konsep: 1) penyerahan diri terhadap Puangalla taala.. Konsep penyerahan diri yang dimaksud adalah terkandung dalam ekspektasi keselamatan diri, dan perolehan rezki yang memadai, pada prinsipnya nelayan menginginkan seperti itu, hanya karena medannya sangat menantang dan berada pada ketidakpastian, maka segalanya diserahkan kepada Puangalla taala sebagai penguasa segalanya; 2) pembersihan diri. Konsep ini dimaksudkan adalah penolakan untuk memakan makanan yang diperoleh dari rezeki yang dianggap tidak halal. Makanan yang diperoleh dari rezeki tersebut akan berpengaruh buruk pada dirinya, keluarga dan generasi yang ditinggalkan. Masyarakat nelayan sangat meyakini generasi yang baik dapat dibentuk melalui pemberian rezeki yang bersih. Konsep inilah kemudian yang menyebabkan sebagian nelayan Mandar menerapkan perilaku jujur dalam melaksanakan kegiatan kenelayanan dan sikap ini pula terkait dengan pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji dalam mencapai riadha dari Allah SWT. Seorang sawi misalnya mengharamkan dirinya untuk mengambil ikan di luar bagian yang diperolehnya, dan seorang punggawa tidak boleh serakah dengan mengurangi hasil yang seharusnya diperoleh seorang sawi. Inilah yang merupakan implikasi dari sistem religiusitas yang berorientasi sufistik, menekankan adanya pembersihan diri atau pembersihan hati; 3) Konsep maqbarakkaq. Konsep ini merupakan basis filosofis dari konsep pembersihan diri. Masyarakat nelayan lebih memilih harta yang maqbarakkaq daripada harta yang melimpah, tetapi tidak maqbarakkaq. Maqbarakkaq yang dimaksud adalah implikasi atau out come yang positif dari rezeki yang diperoleh. Maqbarakkaq itu tidak berkaitan dengan banyak atau sedikitnya jumlah rezeki yang diperoleh, tetapi berkaitan dengan implikasi positifnya dalam kehidupan individu. Misalnya seorang nelayan yang rumah tangganya kurang harmonis, bisanya dikaitkan dengan perilaku nelayan tersebut yang sering curang dalam melaksanakan kegiatan. Rezeki yang diperoleh tidak memberi implikasi positif atau Barakkaq dalam kehidupan sosial ataupun kehidupan pribadinya.
Barakkaq dalam hidup hanya dapat diperoleh melalui sikap jujur dalam mencari rezeki karena ia merupakan pertautan spiritual antara manusia dan Tuhan. Manusia yang mendapatkan Barakkaq dalam kehidupannya diyakini sebagai manusia yang masagena (kebahagiaan baik secara materil maupun spritual). Masagena adalah simbol kepemilikan harta yang berberkah karena memberi implikasi kebahagiaan bagi pemiliknya bukan justeru memberi malapetaka. Oleh karena itu, cita-cita hidup masyarakat Mandar pada umumnya jika dikaitkan dengan harta adalah masagena bukan masugi. Masagena dan masugi secara materil adalah orang yang memiliki harta yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Tekanan perbedaan antara masagena dan masugi terletak pada barakkaqq-nya. Orang yang masuk dalam kategori masagena diyakini mendapatkan barakkaqq karena harta yang dimiliki membawa kepada perilaku sosial yang baik seperti dermawan, ramah, berjiwa sosial tinggi dan sebagainya. Sedangkan orang yang masuk kategori masugi diyakini belum tentu mendapatkan barakkaqq.
4. Implikasi dari proses akulturasi Islam dan nilai lokal adalah munculnya Islam lokal sebagai nilai budaya baru yang kemudian menjadi tradisi yang mewarnai konstruksi keagamaan dan kebudayaan nelayan Mandar. Munculnya Islam sekaligus mempromosikan posisi annangguru sebagai elit sosial yang penting. Kehadiran annangguru tidak hanya berfungsi untuk menjaga ritme keagamaan dengan membuka pengajian Alquran dan kitab klasik, tetapi juga menjadi pemimpin dalam semua kegiatan ritual masyarakat Mandar. Annangguru memperjuangkan nilai-nilai Islam supaya bisa dimengerti dan dipraktikkan oleh masyarakat dengan memanfaatkan moment tertentu seperti ritual. Pranata sosial budaya seperti tradisi mappatammaq koroang (tamat mengaji), maulidan, makkuliwa, maqappu (ritual menjelang ke laut) dan upacara daur hidup (rites de passage) menjadi tempat persemaian tradisi Islam lokal. Pembacaan barzanji disertai dengan ritual khusus yang merupakan ekspresi dari apa yang disebut sebagai Islam lokal, cita rasa Islam yang bercampur dengan tradisi lokal.
III. KESIMPULAN
1. Eksistensi ritual nelayan tidak hanya karena masih berfungsinya ritual tersebut dalam masyarakat, tetapi juga karena telah mengalami proses habituasi, yang menciptakan mekanisme yang bersifat alamiah. Dengan kata lain, ritual tersebut telah berubah menjadi tradisi masyarakat, yang kadang-kadang dilakukan tanpa pemaknaan sekalipun, tetapi karena telah dilakukan secara berulang-ulang. Proses ritual telah mengalami mekanisasi yang dalam tataran tertentu tidak memiliki representasi makna kecuali representasi simbolik.
2. Akulturasi antara Islam dan tradisi lokal menjadi cikal bakal munculnya Islam lokal. Proses pembentukan tradisi Islam lokal pada masyarakat nelayan Pambusuang melalui cara reinterpretasi tradisi lokal dengan perspektif Islam, dan re-formulasi tradisi Islam dengan perspektif lokal. Cara pertama mengalihkan tradisi lokal ke dalam lingkungan kognisi Islam tanpa merubah model dan performancenya. Cara kedua, memformulasi tradisi Islam dengan cara lokal. Kedua cara atau mopdel interaksi inilah yang disebut pribumisasi Islam, suatu teori pertemuan budaya yang mengandaikan terjadinya saling mempelajari, saling mempengaruhi, dan saling membentuk. Kedua model interaksi ini menunjukkan bahwa antara Islam dan budaya lokal memiliki kekuatan yang relatif berimbang. Pribumisasi Islam berbeda dengan pendekatan teori Islamisasi (selama ini) yang mengagungkan secara mutlak Islam dan meredusir “kekuatan” lokal dalam proses dan ruang interaksi.
3. Corak Islam lokal bersifat sufistik, sebuah model Islam yang tidak mengabaikan nalar mistik yang berkembang di masyarakat, tetapi menjadikannya sebagai bagian dari ekspresi Islam. Nilai-nilai Islam dapat terlihat dalam praktik kebudayaan yang bersumber sepenuhnya dari lokal. Nalar sufisme dalam praktik keislaman nelayan Mandar dapat ditemukan dalam 3 (tiga) konsep: 1) penyerahan diri terhadap Puangalla taala.. 2) pembersihan diri. 3) Konsep maqbarakkaq.
Islam sufistik menjadi warna dominan sekaligus menjadi “pengganti” yang sangat efektif bagi epistemologi keagamaan masyarakat nelayan Mandar. Kehadiran Islam sufistik memberi makna baru bagi semangat kenelayanan mereka. Oleh karena ada integrasi yang kuat antara mencari ikan sebagai refleksi kemanusiaan dan ritual produksi sebagai refleksi ketuhanan.
4. Implikasi dari proses akulturasi Islam dengan tradisi lokal adalah telah diterimanya Islam lokal sebagai nilai dan tradisi yang pada gilirannya membentuk identitas keislaman masyarakat nelayan Pambusuang. Menyebut agama Islam, tidak hanya bermakna melaksanakan ritual yang wajib seperti ibadah puasa, shalat, dan haji belaka tetapi juga keseluruhan proses ritual sosial sebagaimana yang telah disebutkan. Islam tidak terpisah antara masjid dan ruang kebudayaan. Islam ada di masjid, di rumah, dan di perahu. Inilah yang disebut sebagai Islam Aplikatif. Artinya keseluruhan praktik Islam lokal hingga saat ini diterima sebagai bentuk agama dan disemaikan dalam pranata-pranata sosial yang telah mapan. Nilai dasar inilah yang diperjuangkan para annangguru untuk menjadikan masyarakat mengerti Islam dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Rupanya dari sisi konseptualnya memiliki hasil, karena target capaian dari konsep membangun manusia insan kamil dengan bahasa lokal ”malaqbi anna masagena” (bermartabat dan sempurna) sangat diakrabi oleh para nelayan dan suku bangsa Mandar pada umumnya. Persoalannya kemudian adalah belum bisa diprediksi kesinambungannya, dan sampai kapan bisa bertahan, sehingga dari celah ini terbuka peluang untuk melakukan penelusuran lebih lanjut.
IV. KONTRIBUSI PENELITIAN
Pengungkapan Islam dalam ritual nelayan Mandar adalah suatu upaya akademik yang diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan penelitian sejenis, terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan teori-teori dalam kaitannya dengan kehidupan komunitas nelayan dan juga keislaman.
Secara epistemologi, Ritual nelayan Mandar bukan hanya sekedar satu kesatuan pikiran tentang keselamatan (ritus gangguan), dan harapan mendapatkan rezki yang memadai (ritus krisis hidup), tetapi di dalamnya juga mengandung pembentukan sikap mental sebagai manusia malaqbi anna masagena (bermartabat dan sempurna). Ini adalah nwujud keberhasilan para Annangguru (ulama penganjur Islam) yang telah memperjuangkan Islam masuk dalam nalar kebudayaan Mandar sebagai identitas kebudayaannya, dan disebut sebagai Islam Aplikatif Artinya, keseluruhan praktik Islam lokal hingga saat ini diterima sebagai bentuk agama dan disemaikan dalam pranata-pranata sosial yang telah mapan.
Temuan ini berbeda dengan temuan Victor Turner pada suku bangsa Ndembu, Zambia Afrika Tengah Selatan (pada tahun 1950 -1954) yang menemukan ritual dalam 2 kategori, yaitu ritual krisis hidup dan ritual (adanya) gangguan. Demikian juga dengan rumusan Davamony tentang ritual.
Selasa, 15 Mei 2012
ISLAM DALAM RITUAL NELAYAN MANDAR Studi di Pambusuang Polman Sulawesi Barat
00.29
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar